Kamis, 26 Maret 2009

Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia (Menggugat Tgl 20 Mei Sebagai Hari Kebangkitan)

Allan A. Samson dari University of California, Berkeley, dalam salah satu tulisannya mengenai Angkatan Bersenjata dan Ummat Islam Indonesia, membuat suatu kesimpulan :”Haluan policy militer terhadap Islam itu terutama berdasarkan konsep policy yang disempurnakan oleh ahli Islamologi Belanda, Snouck Hurgronje, pada tahun-tahun pertama abad 20, yang kemudian dilanjutkan oleh Soekarno dan Soeharto. Hurgronje membedakan antara agama dan politik di dalam Islam. Dia menasehatkan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk membiarkan aktifitas Islam di bidang agama, namun menjauhkan usaha-usaha Islam untuk mengembangkan dasar kekuatan politiknya.” Keampuhan doktrin Islam dalam amar ma’ruf nahi munkar yang dalam hal ini membela rakyat tertindas serta melawan penindasan penjajah Belanda, telah disadari oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena itu adalah wajar apabila dalam rangka mempertahankan kekuasaannya penguasa kolonial Belanda mencurigai setiap kekuatan Islam yang terorganisir. Hampir seluruh pemberontakan terhadap penguasa Belanda di Nusantara ini terus menerus digerakkan oleh semangat Islam yang tidak pernah tinggal diam melihat penindasan dan kemunkaran lainnya.

Antara lain kita mengenal peristiwa Batavia dikepungan digempur oleh Sultan Agung (1613-1645), Perang Makassar (1633-1669), Perang Trunojoyo dan Karaeng Dalesong (1675-1680), Perang Palembang (1818-1821), Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjar (1854-1864), Perang Aceh (1875-1903), serta banyak lagi perlawanan dan pemberontakkan kecil yang tidak disebutkan sejarah. Dalam bermacam peperangan ini telah tertawan dan gugur sebagai pahlawan bangsa serta syuhada karena jihad fi sabilillah, tokoh-tokoh seperti Sultan Hasa nuddin, Trunojoyo, Karaeng Galesong, Untung Suropati, Pangeran Antasari, Pangeran Hidayatullah, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Panglima Polem, Pangeran Diponegoro, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan ribuan pengikut-pengikutnya yang tidak bisa disebut satu per satu.

Setelah berbagai perlawanan rakyat dipadamkan, maka pada giliran berikutnya pemerintah kolonial Belanda berusaha memojokkan peranan Islam di bidang politik untuk mencegah perlawanan rakyat..
Pada Perang Aceh (1875-1903), kas Hindia Belanda nyaris bangkrut. Penyelesaian Perang Aceh yang berlarut-larut adalah penyebabnya. Perang itu pun merupakan beban yang cukup berat bagi pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda meminta penasehat militernya, Snouck Hurgronje, untuk memberikan masukan agar Perang Aceh segera diselesaikan. Sebagaimana ditulis Siti Soemandari Soeroto (dalam Kartini Sebuah Biografi), “Menurut keyakinan Snouck, golongan yang paling prinsipil menentang penjajahan Belanda ialah golongan Islam , teristimewa golongan santri. Maka dalam konsepsinya menyelesaikan Perang Aceh ia juga menyarankan supaya pemimpin-pemimpin golongan Islam dikejar-kejar terus, jangan diberi ampun. Sebaliknya, golongan adat atau feodal, kaum teuku supaya di beri hati dan dirangkul. Konsepsi itu tidak hanya untuk Aceh, melainkan untuk seluruh Hindia Belanda, juga untuk Jawa.”

Pemerintah kolonial Belanda yang memang menjajah Indonesia untuk tujuan menguras habis kekayaan Indonesia, demi kepentingan kemakmuran bangsanya, teramat sadar bahwa pola penindasan dan penghisapan terhadap pribumi Indonesia mendapatkan perlawanan sengit dari kalangan Islam, karena itu pemerintah kolonial Belanda menempatkan Islam sebagai musuh nomor satu. Tidak ada kekuatan yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda di Indonesia ini kecuali kebangkitan Islam yang didukung oleh rakyat. Ahli-ahli orientalis Belanda sudah lama tahu bahwa kebangkitan Islam berarti bangkitnya kesadaran rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan, ini berarti perlawanan terhadap penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda dari pengalamannya sadar bahwa tidak bisa memisahkan antara militansi perlawanan rakyat pribumi dengan Islam. Islam dan rakyat Indonesia seperti ruh dengan badan. Islam dan rakyat Indonesia merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan.

Kebangkitan Pribumi

Apabila pergerakan Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908, hanya berpengaruh di kalangan kaum intelektual Jawa, dan hanya mempunyai cabang-cabang di pulau Jawa saja, maka Sarekat Islam adalah berbeda karena mempunyai anggota dari bermacam suku bangsa di Indonesia, dan sekaligus mempunyai pengaruh dan cabang-cabang di seluruh Nusantara. Sarekat Islam yang dipimpin HOS Cokroaminoto adalah merupakan kelanjutan daripada Sarekat Dagang Islam yang didirikan Haji Samanhudi pada tahun 1905. Kemenangan orang Asia atas orang kulit putih ini telah membangkitkan semangat nasionalisme di seluruh Asia. Sarekat Dagang Islam didirikan dengan maksud menghimpun kekuatan ekonomi pribumi untuk melawan dominasi ekonomi Cina yang dipakai pemerintah kolonial Belanda sebagai alat ekonomi menengah (middenstand) untuk memeras pribumi. Dan mengingat perjuangan ekonomi ini tidak bisa dimenangkan tanpa “membunuh biangnya” yaitu sistem kolonial Belanda, maka Sarekat Islam dibentuk untuk memperjuangkan cita-cita perjuangan politik kaum pribumi. Karena itulah melanjutkan perjuangan Sarekat Dagang Islam, pada tahun 1911 Sarekat Islam dibentuk.

Bahwa Islam benar-benar merupakan mayoritas sejati di Indonesia, terbukti pada kongres Central Sarekat Islam di Bandung yang berlangsung dari tanggal 17-24 Juni 1916. Kongres dihadiri oleh 16.000 orang, yang terbagi dalam 80 utusan dari seluruh Nusantara. Baru pertama kali dalam sejarah Pergerakan Nasional Rakyat Indonesia, bangsa Indonesia dari seluruh penjuru tanah air berkumpul di suatu tempat. Ini hanya dimungkinkan oleh Sarekat Islam yang mempunyai pendukung di seluruh penjuru tanah air, yang terdiri dari berbagai kota seperti: Tegal, Tuban, Doko, Guluk-guluk, Petaruk, Banyuwangi, Rembang, Malang, Majalenka, Tasik malaya, Purworejo, Klampak, Brebes, Pekalongan, Situbondo, Bangkalan, Wlingi, Temanggung, Cilacap, Lasem, Gombong, Labuan, Wonosobo, Ciamis, Purwokerto, Surabaya, Kebumen, Kalisat, Blitar. Jember, Yogyakarta, Banjarnegara, Manonjaya, Mr.Cornelis, Sokaraja, Randublatung, Tulungagung, Krasakan, Solo, Losarang, Delanggu, Surakarta, Buitenzorg, Cianjur, Tebingtinggi, Berai, Semendo, Kutaraja, Telukbetung, Baros, Sibolga, Padangsidempuan, Singkel, Sinabang, Padang, Alabiu, Balikpapan, Tenggarong, Amuntai, Samarinda, Kotawaringin, Tabalong, Kandangan, Harujan, Nagara, Sampit, Donggala, Jembrana dan Pelambang (76 cabang) dan beberapa lagi yang datang kemudian sehingga berjumlah 80 cabang.
Drs. Masyhur Amin dalam “Saham HOS Tjokroaminoto dalam Kebangunan Islam dan Nasionalisme di Indonesia” antara lain menuliskan :”Pada Kongres Central Sarekat Islam di Bandung tahun 1916 itu Pahlawan Nasional HOS Tjokroaminoto berpidato dengan bahasa Melayu (Indonesia) yang tekanannya pada kesadaran dan kebebasan negeri ini secara politis dan penjajahan asing, antara lain ia berkata :’Kita cinta bangsa sendiri dan dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita atau sebagian besar dari bangsa kita.” Dari melihat sepak terjang para pemimpin Islam pada permulaan abad ke-20 itu nampak jelas sikap perjuangan mereka. Tidak ada golongan sentris dalam perjuangan mereka, dengan keyakinan Islam mereka berjuang untuk kebebasan seluruh bangsa.
Adalah wajar apabila Belanda, orang asing dan penjajah mencurigai islam, tetapi adalah suatu penyakit yang berbahaya apabila ada Indonesia pribumi mencurigai Islam. Padahal kekuatan Islam merupakan kekuatan moral yg dahsyat dari rakyat pribumi dan telah terbukti sejak berabad-abad yang lalu. Sangat beralasan untuk mengatakan bahwa Islam dan ummat Islam adalah the real people’s power. Inilah yang dikhawatirkan Amerika dan kroni-kroninya, dengan dalih demokrasi dan HAM mereka berusaha mati-matian melumpuhkan negara-negara Islam, terutama sekali yang memiliki sumber minyak yang melimpah dan yang senantiasa berusaha menegakkan syariat Islam.
Diambil dari tulisan Erizeli Bandaro